tag:blogger.com,1999:blog-22454200276701807542024-02-20T09:46:55.398-08:00Cerita Dewasa SedarahKumpulan Cerita Dewasa Sedarah, Cerita Sex Incest, Cerita Panas Ayah Ngentot Anak, Ibu - Anak Kandung, Kakak - Adik, Mertua - Menantu, Tante - KeponakanUnknownnoreply@blogger.comBlogger1125tag:blogger.com,1999:blog-2245420027670180754.post-13027346709746923172009-08-24T19:46:00.000-07:002009-08-24T20:05:01.554-07:00Ngentot adikku Vanny yang sexy<div style="text-align: justify;">Ini kebiasaan teman-temanku setiap jam istirahat ketiga pada hari Kamis. Kami, siswa-siswi SMA, pulang sekolah pukul 13.30 setiap harinya; sementara siswa-siswi SMP sudah mengakhiri pelajaran pada pukul 11.45, bertepatan dengan jam istirahat ketiga kami.<br /><br />Setiap saat itulah, teman-temanku berdiri bersandar di balkon dan menonton siswa-siswi SMP sekolah kami yang sedang berjalan pulang sekolah. Seringkali mereka mengomentari siswi-siswi mana yang imut atau cantik, dan terutama yang menurut mereka memiliki tubuh yang seksi. Beberapa temanku bahkan sering bersiul pada mereka, atau menggoda mereka, hanya untuk menarik perhatian salah satu dari cewek-cewek SMP yang cantik-cantik itu. Hari ini pun begitu, sementara aku duduk di bangku panjang sambil mendengarkan iPod ku.<br /><br /><span class="fullpost">“Dit! Dit! Vany tuh!”</span><br /><br /><span class="fullpost">Nah, di antara semua cewek SMP yang lain, ada satu cewek yang paling menarik perhatian hampir semua temanku (dan sepertinya hampir semua cowok di SMA dan SMP, dan mungkin bahkan beberapa bapak guru). Cewek itu adalah Stevany, adik perempuanku. Stevany 4 tahun lebih muda dariku, dia duduk di kelas 2 SMP.</span><br /><br /><span class="fullpost">Sebenarnya Vany sama seperti cewek-cewek yang lain; dengan tinggi badan 153 cm dan berat 46 kg, Vany tergolong kecil mungil, tidak tinggi semampai. Rambutnya yang hitam pun hanya dipotong pendek sebatas leher. Memang wajahnya sangat imut dan kulitnya pun putih mulus tanpa cacat, tapi bukan itu yang membuat teman-temanku tergila-gila padanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Duh gilak tuh anak cute banget sih!!”</span><br /><span class="fullpost">“Sexy banget, maksud lu..!?”</span><br /><br /><span class="fullpost">Yap… Kontras dengan wajahnya yang sangat imut seperti anak kecil, Vany bisa dibilang sangat sexy. Alasan utamanya—dan aku yakin bagian inilah yang selalu dilihat oleh hampir semua cowok—Vany memiliki dada berukuran 34 C, yang termasuk sangat besar untuk anak seusianya. Bentuknya pun sangat bulat dan penuh.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Duh gue ngaceng… Gede banget gilak…”</span><br /><span class="fullpost">“Hus! Ada kakaknya tuh.. Ntar lu dibunuh… Hahaha”</span><br /><br /><span class="fullpost">Tiba-tiba teman-temanku ber “Oooh…!!” seru. Aku melongok ke arah lantai dasar, mencari tahu penyebab “Ooh..!!” tiba-tiba itu. Pantas, pikirku. Vany sedang berlari berkejar-kejaran dengan beberapa cewek lain. Aku tahu apa yang diperhatikan oleh teman-temanku: dada Vany yang berguncang-guncang menggiurkan saat ia berlari. Aku melirik ke arah teman-temanku, dan aku dapat melihat tonjolan-tonjolan tegang di bagian tengah celana panjang mereka.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Heh! Udah! Adek gue bukan tontonan!” ujarku. Teman-temanku menoleh.</span><br /><span class="fullpost">“Yee… Salahnya adek lu punya badan kayak gitu..” kata Martin, salah satu temanku.</span><br /><span class="fullpost">“Toket kayak gitu, lebih tepatnya,” kata yang lain.</span><br /><span class="fullpost">“Ah, udalah! Nyebelin…” kataku gusar. Aku berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan teman-temanku yang menatapku gelisah.</span><br /><br /><span class="fullpost">Sebenarnya hal ini sudah membuatku gelisah beberapa waktu belakangan ini. Sejak adikku kelas 6 SD, entah kenapa seolah-olah dadanya seperti dipompa; pertumbuhannya pesat sekali! Hampir setiap pergantian semester, adikku ini mengeluh bra-nya sudah kesempitan, dan ternyata ukurannya sudah bertambah besar lagi. Di saat teman-teman seusianya masih belum mengenakan bra, Vany sudah mulai memilih bra mana yang harus dikenakannya, dan saat teman-temannya mulai merasakan pertumbuhan di dada mereka, milik Vany bahkan sudah jauh lebih besar dari milik ibuku.</span><br /><br /><span class="fullpost">Dan, yang paling membuatku khawatir, adalah kenyataan bahwa bagaimana pun, aku juga seorang cowok normal, yang juga bisa terangsang bila melihat sepasang dada yang bulat dan sangat besar seperti miliknya. Bahkan sudah beberapa lama ini aku menahan godaan untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang kakak pada adiknya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Yang ini aja…”</span><br /><span class="fullpost">“Nggak ah, Kak… Bagusan yang ini tau…”</span><br /><span class="fullpost">“Hmm… Masa sih?”</span><br /><br /><span class="fullpost">Sore itu aku dan Vany sedang berada di dalam sebuah toko yang menjual berbagai kartu ucapan di sebuah mall di dekat rumah kami. Kami sedang memilih kartu ucapan untuk salah seorang teman Vany yang akan berulang tahun sebentar lagi. Sudah sekitar setengah jam kami berputar-putar di antara rak-rak yang memamerkan berbagai macam kartu ucapan yang unik dan lucu, tapi kami masih belum menemukan pilihan yang tepat. Vany menarik sebuah kartu bergambar anjing kartun lucu yang sedang mendengarkan iPod dari raknya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kalo yang ini?” tanyanya kepadaku.</span><br /><span class="fullpost">“Hmm… Boleh juga, sih…” jawabku. “Bisa diputer-puter, ya?”</span><br /><span class="fullpost">“Ya… Lucuu…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku tersenyum, menunduk, mencium ubun-ubun kepalanya. Vany mendongak, menatapku sambil tersenyum. Ia menyenderkan kepalanya ke pundakku.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Luv u, Kak…”</span><br /><span class="fullpost">“Luv u too, Van…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Sambil tetap meletakkan kepalanya di pundakku, ia kembali melihat-lihat kartu bergambar anjing yang ia ambil tadi. Seolah ia telah menentukan pilihannya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Yang ini aja ya, Kak?”</span><br /><span class="fullpost">“Ya… Itu bagus,” jawabku.</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany nyengir manis sekali, kemudian menggandeng tanganku ke arah kasir. Setelah membayar, kami keluar dari toko kartu itu, masih bergandengan tangan. Kami benar-benar menikmati jalan-jalan kami petang hari itu; kami berjalan perlahan-lahan, sesekali aku memainkan rambutnya yang pendek-kaku, kemudian menciumnya lembut. Vany membalas dengan tusukan nakal jari telunjuknya di pinggangku, bermaksud menggelitikku. Kami saling berbagi candaan dan menggoda satu sama lain, berfoto berdua, pokoknya benar-benar menyenangkan.</span><br /><br /><span class="fullpost">Yap. Seperti itu lah aku dan Vany, adik perempuanku satu-satunya, sekarang. Mesra sekali. Sejak kejadian malam itu (saat Belanda akhirnya melibas pasukan tua Italia 3-0—silakan baca episode 1) kami menjadi sangat dekat. Kami memang sudah memiliki hubungan yang baik sebelumnya—kami hampir tidak pernah bertengkar—dan kejadian itu sungguh-sungguh merekatkan kami, layaknya sepasang kekasih.</span><br /><br /><span class="fullpost">Sejak kejadian malam itu, kami saling berjanji untuk tidak mengulangi kegilaan seperti itu lagi… Dan kami berhasil! Kami menonton pertandingan-pertandingan Euro selanjutnya dengan seru, dan saling menghormati satu sama lain, menyadari status kami sebagai kakak-adik.</span><br /><span class="fullpost">Tapi, aku tidak bisa memungkiri bahwa sejak malam itu, Vany selalu ada dalam pikiranku. Dan setiap malam, sebelum tidur, bayangannya lah yang muncul di benakku. Aku tahu aku harus menolak pikiran-pikiran itu, tapi hasilnya malah pikiran itu muncul semakin menggila setiap kali aku onani. Setiap kali aku melakukannya, selalu muncul gambar-gambar kejadian malam itu; bagaimana aku meremas dadanya yang empuk dan besar, bagaimana putingnya mengeras, bagaimana pahanya yang mulus menjepit dan menggesek penisku, erangan dan desahan nikmatnya, dan tubuhnya yang tergeletak lemas berlumuran spermaku tak pernah bisa kuhapus dari pikiranku. Bayangan itu sungguh efektif dalam merangsangku, begitu efektifnya hingga tak cukup hanya satu kali keluar saat onani untuk memuaskan nafsuku.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku tak tahu apa yang Vany alami setelah malam itu; apakah dia juga mengalami apa yang aku alami atau tidak, aku tak tahu. Yang aku tahu, ia semakin sayang pada kakaknya, dan—jujur saja—ia terlihat semakin sexy sejak malam itu. Seolah dadanya yang besar bertambah besar dan menonjol menggiurkan, tetapi wajahnya yang imut bertambah imut dan polos. Ooh… Paradoks seperti itu sungguh menggairahkan!</span><br /><br /><span class="fullpost">* * *</span><br /><br /><span class="fullpost">Selasa, 17 Juni 2008 – 22.10</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kaak… Ntar bangunin aku ya kalo udah mulai…”</span><br /><span class="fullpost">“Kamu pasang weker juga lah, Van…”</span><br /><span class="fullpost">“Udaah… Tapi takutnya ga bangun… Ya?”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany sedang menjulurkan badannya dari balik pintu tembusan antara kamarku dan kamarnya (kamar kami dihubungkan dengan kamar mandi), dan memintaku membangunkannya saat pertandingan Italia vs Prancis berlangsung nanti. Pertandingan ini merupakan pertandingan penentuan, dengan Belanda yang telah lolos dari grup maut C, posisi kedua diperebutkan Romania, Italia, dan Prancis. Pemenang laga Italia melawan Prancis akan lolos apabila Belanda berhasil mengalahkan Romania pada laga terakhir. Jika Romania menang, maka Romania-lah yang lolos mendampingi Belanda, tak peduli hasil pertandingan Italia melawan Prancis.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Oke…” Aku mengangguk, setuju. Aku masih tetap menghadapi komputerku.</span><br /><span class="fullpost">Vany berjalan ke arahku, memelukku dari belakang, mengecup pipiku.</span><br /><span class="fullpost">“Thanks, Kak…” bisiknya lembut.</span><br /><span class="fullpost">Aku tersenyum, menoleh menatapnya, dan mencium hidungnya yang mungil. Vany mengernyit, tapi nyengir setelahnya. Ia mencium pipiku lagi kemudian berbalik ke arah kamarnya.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku mendengar debam pintu ditutup di belakangku. Cepat-cepat aku mengganti screen komputerku. Aku sedang mengetik cerita tentang kejadian beberapa malam yang lalu itu. Aku sudah berjanji pada teman-temanku di Bluefame untuk membagikan cerita ini pada mereka.</span><br /><span class="fullpost">Setengah jam berlalu, aku masuk bagian ketiga, bagian yang paling seru. Sambil mengetik, aku membayangkan apa yang kulakukan malam itu dengannya. Kupejamkan mataku… Sama seperti sebelumnya, bayangan-bayangan itu muncul dalam benakku. Jelas sekali… Aku membayangkan tanganku sedang meremas dadanya yang empuk dan sangat besar, memainkan putingnya yang semakin lama semakin mengeras dan menegang menggiurkan. Aku menyenderkan badanku ke kursi, merogohkan tangan ke dalam celanaku. Penisku sudah mengeras. Pelan-pelan, aku mengocoknya.</span><br /><br /><span class="fullpost">Oohh Vany toket kamu gede bangeeet siih…</span><br /><br /><span class="fullpost">Penisku semakin tegang dan membesar, kocokanku semakin keras.</span><br /><br /><span class="fullpost">Empuuk… Putingnya keras bangett… Hornya,ya Van?</span><br /><br /><span class="fullpost">Tanganku bergerak semakin cepat. Bayangan-bayangan semakin jelas.</span><br /><br /><span class="fullpost">Oh my God paha kamu ngegesek penis kakak…</span><br /><br /><span class="fullpost">Nafasku semakin cepat.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aah…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Astaga, aku bahkan dapat mendengar suara desahannya dalam benakku.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Mmmh… Mmm…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Oh suaranya jelas sekali…</span><br /><br /><span class="fullpost">“Mmhh… Ssshhh… Aah…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Astagaa… Aku akan segera keluaar!!!</span><br /><br /><span class="fullpost">Tapi saat itu aku sadar… Bayangan tidak bersuara! Aku membuka mataku, diam terpaku, mendengarkan…</span><br /><br /><span class="fullpost">“Mmmhh…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Samar-samar, dari kamar sebelah, aku bisa mendengar suara desahan tertahan. Vany kah? Apa yang sedang dilakukannya?</span><br /><br /><span class="fullpost">Mengendap-endap, aku berjingkat ke arah pintu kamar mandiku, yang menghubungkan kamarku dengan kamarnya. Perlahan, sangat perlahan, aku membuka pintu kamar mandiku, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit pun.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aahh… Mmmhhh…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Desahannya semakin terdengar. Aku menjulurkan kepalaku ke dalam… benar saja; pintu kamar mandi yang menuju ke kamarnya terbuka sedikit. Mungkin Vany lupa menguncinya malam ini. Aku berjingkat perlahan ke arah pintu yang terbuka sedikit itu, dan dari celah pintu itu aku mengintip ke dalam kamar adikku.</span><br /><br /><span class="fullpost">Lampu kamarnya telah dimatikan, hanya tersisa lampu meja yang menyala oranye redup. Vany meringkuk di atas ranjangnya, tubuhnya yang mungil miring ke kanan, menggeliat-geliat pelan. Tangan kanannya merogoh bagian depan celana pendeknya, menjangkau vagina dengan tangannya, sementara tangan kirinya meremas salah satu dadanya yang besar menggiurkan itu. Vany sedang masturbasi!</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aahhh… Aaahhh….” desahnya nikmat.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku terpana. Tidak pernah sebelumnya aku berpikir bahwa adikku yang polos dan imut-imut ini juga memiliki pikiran yang erotis hingga bisa masturbasi. Terdiam sejenak, aku sadar bahwa akulah yang memasukkan pikiran-pikiran seperti itu dalam benaknya. Jika kejadian malam itu tak bisa hilang diingatanku—yang telah sering ML apalagi hanya petting seperti itu—tentunya lebih tidak bisa hilang lagi dalam pikiran Vany yang masih polos dan baru pertama kali melakukannya. Tersenyum, aku membalikkan badanku, bermaksud meninggalkan Vany dalam fantasinya. Tapi, baru setengah langkahku terangkat, aku mendengar sesuatu yang membuatku tertegun.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Mmmhh… Kak… Kaak…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Jantungku serasa berhenti. Astaga! Rupanya aku yang dibayangkannya! Penasaran, aku berbalik, hendak mengintip ke arah kamarnya lagi, melihat apa yang terjadi. Namun, karena gelap, aku menyenggol tempat sampah kamar mandi yang terbuat dari besi, sehingga jatuh berkelontangan.</span><br /><br /><span class="fullpost">Tanpa melihat pun, aku tahu Vany tertegun di ranjangnya. Hening mencekikku. Aku dilanda kebingungan, berbalik ke kamarku sepelan mungkin, atau membereskan dulu tong sampah itu baru berbalik. Sebelum aku mengambil keputusan, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, lampu menyala. Vany berdiri di ambang pintu. Tubuhnya berkeringat, wajahnya yang imut diliputi kecemasan dan terkejut.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Eh… Kak? Nga… Ngapain?” Vany bertanya gugup.</span><br /><span class="fullpost">“Hah? Oh? Nggak koq nggak ngapa-ngapain… Eh… Belum tidur?” aku tak kalah gugupnya.</span><br /><br /><span class="fullpost">Terdiam. Kami membatu di tempat masing-masing, menyadari kejanggalan yang terjadi. Vany memberanikan diri bertanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kakak… Tadi liat aku?”</span><br /><span class="fullpost">“Ah? Ah…” Aku gelagapan, tak tahu harus menjawab apa. “Eh, ya… Lebih ke arah denger sih…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Terdiam lagi.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Tadi pintunya agak kebuka sedikit…” lanjutku sambil mengangguk ke arah pintu yang menuju kamarnya.</span><br /><span class="fullpost">“Oh, ya…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Terdiam lagi. Suasana ini tidak menyenangkan. Wajah Vany merah padam.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Mm… Kakak… Denger semua?” suara Vany sangat pelan hampir berbisik. Aku terdiam, tak mampu menjawab.</span><br /><span class="fullpost">“Yah… Ya… Kamu bayangin… Kakak?” tanyaku. Langsung ke sasaran.</span><br /><span class="fullpost">“Hah? Eh…” wajahnya tambah merah padam. “Yah… I… Ya gitu deh…”</span><br /><span class="fullpost">“Oh ya?” jawabku canggung. Tak tahu melanjutkan ke mana.</span><br /><span class="fullpost">“…Yang malem itu…” bisik Vany.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku terdiam. Sudah kuduga ia akan memikirkan apa yang kami buat malam itu. Perasaan bersalah terasa menyakitkan menusuk hatiku. Kami terdiam, terpaku di tempat masing-masing, bingung harus melakukan apa selanjutnya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Eh… Yah… Yasudah… Kakak tidur dulu?” kataku gugup.</span><br /><span class="fullpost">“Hah? Oh… Ya… Oke… Nanti bangunin aku ya…” kata Vany, senyum gugup mengembang di bibirnya yang mungil.</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany membantuku membereskan sampah yang sedikit berserakan. Aku tersenyum, mengecup keningnya, kemudian berbalik, hendak kembali ke kamarku, berusaha melupakan apa yang kulihat barusan. Saat itulah Vany memelukku dari belakang.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kak…” bisiknya.</span><br /><span class="fullpost">“Ya?” jawabku, berusaha setenang mungkin.</span><br /><span class="fullpost">“Kakak… Juga mikirin yang malem itu?” Vany bertanya takut-takut.</span><br /><br /><span class="fullpost">Hening.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kak?”</span><br /><span class="fullpost">“Ya… Iya…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Hening lagi.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Yang pas apa yang kakak bayangin?”</span><br /><span class="fullpost">“Heh? Koq nanya kayak gitu?”</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku mendengarnya tertawa kecil. Vany semakin mempererat pelukannya. Dadanya yang empuk menekan punggungku, enak sekali… Aku merasa celana pendekku mulai menyempit.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kamu bener-bener kepikiran, ya?” tanyaku. Aku merasakan anggukan kecil kepalanya.</span><br /><span class="fullpost">“Pengen… Lagi…” katanya pelan.</span><br /><span class="fullpost">“Heh! Katanya waktu itu jangan lagi… Dosa…” jawabku. Aku agak geli.</span><br /><span class="fullpost">“Iya… Tapi…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku tersenyum, membalikkan badanku. Vany menunduk, terlihat lesu.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Hei…” sapaku lembut. Kuangkat dagunya perlahan. “Ga baek tau kita gitu… Kan kakak-adek… Waktu itu udah janji juga kan kita ga mau gitu lagi… Ya kan?”</span><br /><br /><span class="fullpost">Apa yang kukatakan ini sungguh bertentangan 180 derajat dengan apa yang kurasakan. Penisku yang menegang serasa berdenyut-denyut di balik celana pendekku. Ingin rasanya aku langsung melumat bibirnya yang mungil itu dan menghujamkan penisku ke dalam tubuhnya. Tapi, bagaimana pun, aku kakaknya. Aku tahu itu tidak boleh.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Iya… Iya sih…” jawabnya, lembut. “Sorry…”</span><br /><span class="fullpost">“Hm? Koq sory?”</span><br /><span class="fullpost">“Abis… Kan udah janji waktu itu…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Tidak boleh, dia adikku. Aku terus memberitahu diriku sendiri. Tapi saat itu aku mataku terantuk pada dadanya yang besar menantang. Penisku semakin mengeras. Aku menggelengkan kepala.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kakak nggak pengen lagi?” tanyanya, polos.</span><br /><br /><span class="fullpost">Nggak.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Yah…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Bilang nggak pengen.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Eh…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Stop.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Ya… Yah… Jujur sih… Eh…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Dia adik lu!</span><br /><br /><span class="fullpost">“… Ya pengen sih…” Bagaimana pun aku kalah lagi. Vany mendongak, menatapku. Saat itu wajahnya terlihat imut sekali.</span><br /><span class="fullpost">“Karena toketku?” tanya Vany.</span><br /><span class="fullpost">“… Iya… Sory…” jawabku lemah.</span><br /><span class="fullpost">“Gapapa…” jawabnya. Mukanya merah padam.</span><br /><span class="fullpost">“Abis… Gede banget…”</span><br /><span class="fullpost">“Segede itu kah?” tanyanya perlahan, kedua tangan mungilnya memegang dadanya, meremasnya, seolah tak percaya bahwa dadanya memang sangat besar.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku tak tahan lagi. Kupeluk tubuh mungil Vany. Dadanya yang besar menekan dadaku. Aku mencium bibirnya yang mungil, lembut. Vany terkejut. Sesaat seolah ia akan meronta melepaskan diri dari pelukanku, namun detik berikutnya ia telah membalas ciumanku.</span><br /><br /><span class="fullpost">Ciuman kami bertambah panas. Lidahku perlahan masuk ke dalam mulutnya, memainkan lidahnya. Vany cepat belajar rupanya, segera membelit lidahku dengan lidahnya yang mungil. Decak lidah kami terdengar menggiurkan di dalam heningnya malam itu. Tanganku merogoh pantatnya, meremasnya. Baru kali ini aku menyadari pantat Vany juga montok dan tebal. Vany melepaskan ciuman, mengambil nafas. Benang ludah tipis menghubungkan mulut kami. Sexy sekali.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Di kamar aja yuk?” ajaknya.</span><br /><span class="fullpost">Aku mengangguk. Kugendong Vany kembali ke kamarnya, kurebahkan tubuh mungilnya di atas ranjangnya. Perlahan, aku merebahkan diri di atas tubuh Vany, kembali melumat mulutnya dengan penuh gairah. Tapi saat itu Vany terbatuk.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kenapa?” tanyaku.</span><br /><span class="fullpost">“Uhuek… Kakak berat!” katanya terbatuk. Ia tertawa terbahak-bahak. Tawanya yang renyah justru menambah gairahku. Kami berciuman lagi. Nafas kami semakin memburu. Aku menurunkan ciumanku ke rahangnya, kemudian lehernya, perlahan-lahan. Vany mencengkeram rambutku.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Mmhhh… Jilatin leherku, Kak…”</span><br /><span class="fullpost">Aku menurutinya. Aku memutar-mutar lidahku di lehernya, kucium perlahan, terus berulang-ulang. Vany mengejang.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Enak?” tanyaku.</span><br /><span class="fullpost">“Hmmhh… Iya… Lagi kak…” Vany mendesah.</span><br /><br /><span class="fullpost">Kali ini, sambil menjilat dan merangsang lehernya terus-menerus, tanganku perlahan meremas dadanya yang seempuk bantal. Rupanya malam ini Vany memakai BH, sehingga tanganku tidak langsung menyentuh putingnya. Tapi aku merasakan puting Vany telah mengeras seperti malam itu.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Buka aja kaosnya…” pintanya. Aku mengangguk. Perlahan, aku mengangkat kaos piyama warna pink itu. Vany mengangkat kedua lengannya agar bisa kubuka sepenuhnya. Aku tertegun melihat BH warna putih berenda yang dikenakannya. Baru kali ini aku melihat tubuh adikku seperti ini. Dadanya yang besar dan bulat terlihat sangat kesulitan ditahan oleh BH itu. Aku mulai mencium dan menjilat dada Vany, sementara tanganku masih tak puas merasakan empuk dan kencangnya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Emang bener-bener gede, Van…” bisikku. Vany hanya tersenyum, menggeliat nikmat. Aku meremas dadanya lagi, ragu-ragu apakah sebaiknya kubuka Bhnya atau tidak. Seolah dapat membaca pikiranku, Vany bertanya.</span><br /><span class="fullpost">“Mau liat?” tanyanya, menggoda.</span><br /><br /><span class="fullpost">Tak menunggu disuruh dua kali, kutarik BH itu ke atas. Dada Vany yang besar berguncang menggiurkan saat terbebas dari cengkeraman BHnya. Sungguh besar, bulat dan putih mulus sekali, dengan puting yang masih belum pernah tersentuh tangan pria berwarna coklat muda kemerahan. Benar dugaanku, putingnya telah ereksi setegang-tegangnya. Dada Vany benar-benar sempurna.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Oh my God…” bisikku kagum. “The best…”</span><br /><span class="fullpost">“Hehehe… Berisik… Ayo cepet…” katanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku membenamkan wajahku di antara kedua payudaranya. Empuk, lembut sekali. Sensasi kenyalnya dada Vany membuatku sungguh terangsang. Dada Vany sungguh penuh membungkus wajahku. Aku bergeser. Jemariku memainkan putingnya yang telah tegak berdiri.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aaahh… Kakk… MMhhh…” Vany mendesah nikmat. Kujilat dan kusedot puting kanannya, sementara tangan kananku meremas dada kirinya. Kemudian berganti, puting kirinya kusedot dan kujilat perlahan, sementara puting kanannya kumainkan dengan jemariku; kucubit dan kuputar.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aaahh… Aaahh… Ka…K… Pelan… Pelaan… Mmmhhh!!”</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku menyadari Vany lebih terangsang saat puting kirinya kujilat. Rupanya Vany lebih sensitif di puting kiri.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kamu lebih suka di sini ya?” godaku sambil menggigit perlahan puting kirinya.</span><br /><span class="fullpost">“AAAHH… Aah!! IYA! Ooh… Mmmhhh… Jangan digigiitt… Mm!!” Vany mendesah keenakan. Tubuhnya menggeliat-geliat. Tangannya mencengkeram seprei. Sambil melepas celana pendeknya, aku semakin liar memainkan dadanya yang besar menggiurkan. Kuputar-putar lidahku di kedua putingnya bergantian. Vany tak tahan.</span><br /><br /><span class="fullpost">“OOH… Kaakk… Ka… Kalo gitu terus… Aku… Aaahh… Mmhh… Kk…”</span><br /><span class="fullpost">“Mau keluar?” tanyaku sambil terus meremas dan menjilat dadanya. Vany mengangguk panik. Aku nyengir nakal. Puting kirinya kujilat sangat perlahan, sementara tangan kananku merogoh selangkangannya. Sudah basah kuyup.</span><br /><br /><span class="fullpost">“AaaahhhHH….!!! Kaaakkkk!!!”</span><br /><br /><span class="fullpost">Sslllrrssshhhhhhh… Vany mengejang, mengangkat pinggulnya, menyemprotkan cairannya banyak-banyak, membasahi tanganku. Ia terkulai lemas.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kenapa kamu? Belon diapa-apain udah squirting gitu?” godaku.</span><br /><span class="fullpost">“Hhh… Hh… Enak aja blon diapa… apain… Hh…” jawabnya, terengah-engah. Aku tertawa pelan.</span><br /><span class="fullpost">“Masih kuat?”</span><br /><span class="fullpost">Ia mengangguk, tersenyum.</span><br /><span class="fullpost">“Kakak nakal…” bisiknya. Aku nyengir dan kembali membenamkan kepalaku kedalam bekapan dadanya. Benar-benar enak sekali.</span><br /><span class="fullpost">“Mmm… Vnn… Nnii subber bngeddd…(Mmm… Van ini super banget)” kataku dalam bekapan dadanya. Vany tertawa geli. Kedua tangannya meremas dadanya, menekankannya ke arah wajahku, sehingga semakin membekap wajahku. Saat itu ide gila melintas di benakku.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Van, kamu tau titf*ck?” tanyaku.</span><br /><span class="fullpost">“Apa tuh?”</span><br /><span class="fullpost">“Itu… Gini…” Aku berdiri, membuka celanaku. Penisku yang tegak berdiri mengacung ke arahnya. Vany melotot memandang penisku.</span><br /><span class="fullpost">“Mau diapain, Kak?” tanya Vany.</span><br /><span class="fullpost">“Kayak tadi…” Dengan lembut aku berlutut, mengangkang melewati perutnya. Kuletakkan penisku di antara dadanya yang lembut itu. Vany mengerti.</span><br /><span class="fullpost">“Ooohh… Iya iya!” katanya, mengangguk-angguk. Vany memegang kedua dadanya yang besar, kemudian menjepit penisku di antaranya. Luar biasa!</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aaahh!!! Vaan… Ini enak banget!!”</span><br /><span class="fullpost">“Enak??” tanyanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">Tangan Vany meremas-remas, memijat-mijat dadanya. Sensasi empuk dan kencang membungkus penisku. Dadanya sungguh besar hingga yang terlihat hanya kepala penisku yang berwarna merah. Rasanya berdenyut-denyut di antara jepitan lembut dadanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Van, dikocok deh… Mmmhhh… Pelan-pelan,” pintaku.</span><br /><span class="fullpost">“Oke…” Vany menggerakkan dadanya naik turun bersama-sama, perlahan. Aku tak dapat melukiskan kenikmatannya dengan kata-kata. Kemudian ia menggerakkan dadanya bergantian, kiri-kanan-kiri-kanan… Benar-benar luar biasa!</span><br /><br /><span class="fullpost">“Ooohh… Mmmmhhh… Vaann… Sambil dijilat… Kepalanya…”</span><br /><span class="fullpost">Vany menunduk, menjilat kepala penisku. Aku rasa batasku sudah semakin dekat. Seolah mengerti pikiranku, Vany berkata.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Keluarin aja, Kak… Semprot yang banyak!” bisiknya.</span><br /><span class="fullpost">“Okee… Mmmhh… Ben… Bentar laggii… Aaahhh….”</span><br /><span class="fullpost">Vany semakin cepat menggerakkan dadanya naik-turun, ia juga mengencangkan jepitannya, tapi jilatannya tetap pelan dan lembut. Aku sudah tak tahan lagi!</span><br /><span class="fullpost">“VAAN… Kakak…. MMMMmmmhHHH!!!!”</span><br /><br /><span class="fullpost">Crooottt… Crroooottt… Crrroooottt…. Penisku meledakkan sperma kuat-kuat berkali-kali ke wajah imut Vany. Vany memejamkan mata dan menutup mulut rapat-rapat. Aku terus menyemprot hingga hampir seluruh wajah dan dadanya yang besar berlumuran cairan putih kental itu.</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany membuka mata, menjilat sperma sekitar mulutnya. Cairan putih menetes dari daun telinga, juga poni rambutnya. Wajah polosnya benar-benar belepotan sekarang. Aku mengangkat penisku dari dadanya, masih tegang, sama seperti waktu itu. Rupanya memang tidak cukup hanya sekali untuk memuaskan nafsuku.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Oke… Sekarang giliran kamu lagi…” kataku.</span><br /><span class="fullpost">Aku menunduk ke arah selangkangannya. Kubuka tungkai Vany hingga mengangkang sempurna. Celana dalamnya basah kuyup. Aku menjulurkan jari telunjukku untuk menyentuh vaginanya. Perlahan, kugerakkan naik-turun telunjukku di bibir vaginanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Mmm… Mmhhh… Kaak…” desahnya pelan. Aku menusukkan telunjukku lembut lebih kedalam. Vany menjengit. “Lagi, Kak…”</span><br /><span class="fullpost">“Tunggu…” Perlahan, kubuka celana dalamnya yang berwarna putih. Vagina Vany masih belum berbulu, hanya rambut-rambut sangat tipis yang tumbuh sedikit di sekitar bibir vaginanya. Bentuknya pun indah, tembem. Klitoris Vany sudah menonjol keluar. Cairan bening mengalir dari dalam vaginanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Wow… Kenapa badanmu sempurna gini sih?” bisikku menggodanya.</span><br /><span class="fullpost">“Apaan sih kakak…” kata Vany.</span><br /><br /><span class="fullpost">Tanpa berlama-lama, aku langsung mencium vaginanya. Vany mengejang, menggeliat setiap kali aku menyentuh klitorisnya dengan bibirku. Harum segar sekali baunya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aahh… Kaakk… AaaaHH… Aa…” desah Vany. Aku menjulurkan lidah, kujilat bibir vaginanya yang tembem. Vany menggeliat semakin kuat, mencengkeram kepalaku. Aku meremas pantatnya perlahan-lahan sambil terus menjilati vaginanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kaakk… Kakakk… Oohh… Mmmhhh… Yess…” Vany mendesah. Nafasnya berat, tak beraturan. Kujulurkan lidahku lebih dalam, kali ini menjangkau bagian dalam vaginanya. Vany mendesah dan mendesis tak karuan, pinggulnya menegang. Aku melirik ke atas, tangan kanannya sedang meremas dadanya yang besar, memainkan puting kirinya yang sensitif. Kugigit lembut klitoris adikku.</span><br /><br /><span class="fullpost">“MMM!!! Kaaakkk!!! Keluaaarrrr!!! Aaaahhh… AAAAHH!!!”</span><br /><br /><span class="fullpost">Sebelum aku sadar, Vany telah menyemprotkan cairannya ke wajahku. Semprotannya kencang sekali. Untung saja aku sempat memejamkan mata dan menahan nafas. Belum sempat aku mengambil nafas, Vany telah menyemprotkan orgasmenya yang kedua. Lebih banyak kali ini.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Oohh… Oohh… Mmhhh… Hhh… Hhhh…” Vany terengah-engah tak karuan. Dadanya bergerak naik-turun, mengatur nafas. Aku membenamkan wajahku di dalam selimut, berusaha mengeringkannya. Vany tertawa geli melihat kakaknya basah kuyup.</span><br /><span class="fullpost">“Apa kamu ketawa-ketawa…” ujarku. Geli juga sih…</span><br /><span class="fullpost">“Hahahaha… Emang aku nyemprotnya sampe segitunya? Hahaha…” katanya geli.</span><br /><span class="fullpost">“Hehe… Abis kamu tiba-tiba gitu… Dua kali, lagi…” kataku, akhirnya ikut tertawa.</span><br /><span class="fullpost">“Kan aku udah bilang tadi…” jawabnya. Vany terkulai lemah di ranjang, tapi matanya berbinar senang.</span><br /><span class="fullpost">“Hehehe… Nakal kamu…” bisikku. Aku merebahkan diri di atas adikku, kemudian melumat bibirnya yang mungil itu dengan sayang. Penisku masih tegang sekali, agak menyentuh vaginanya. Vany berjengit, melepaskan ciuman.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kak… Masih tegang, ya?” tanyanya polos. Aku mengangguk.</span><br /><span class="fullpost">“Kamu sexy banget sih… Jadi tegang terus…” aku berbisik menggodanya.</span><br /><span class="fullpost">“Mau disedot?” tawar Vany sambil tersenyum.</span><br /><span class="fullpost">“Heh? Emang kamu bisa?” tanyaku, agak terkejut.</span><br /><span class="fullpost">“Bisa… Waktu itu kan pernah ngintip Kakak lagi disedot Kak Grace…” jawabnya, meyakinkanku. Grace itu pacarku. “… Eh… Apa namanya… Oral?”</span><br /><span class="fullpost">“Ya… Oral,” kataku membenarkannya. “Nakal ya kamu ngintip-ngintip orang!”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany nyengir jahil. Ia mendorongku. Aku berguling ke sisinya, terlentang. Vany bangkit dan membungkuk di atas kakiku, kepalanya menghadap penisku yang tegak berdiri.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Mulai… Eh… Mulai dari sini kan ya?” tanyanya ragu-ragu sambil menjulurkan tangannya yang mungil untuk menggenggam penisku. Aku mengangguk. Perlahan, Vany mengocok penisku. Aku tahu ia masih takut-takut.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Mmhh… Enak gitu Van… NnhHh.. Teruss…. Betul… Mhh…” desahku.</span><br /><br /><span class="fullpost">Lama-kelamaan Vany semakin yakin dan terbiasa dengan penisku. Kocokkannya semakin mantap. Tak lama kemudian, ia mendekatkan bibirnya ke kepala penisku, menjulurkan lidahnya untuk menjilat. Perlahan-lahan, ia menjilati kepala penisku. Enak sekali.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aahh… Ji… Jilat batangnya juga, Sayang… Mmhh…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany menurut. Ia menjilati batang penisku dengan bersemangat. Lama-kelamaan jilatannya semakin berani. Vany memutar-mutar lidahnya di sepanjang penisku.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Slllrpp… Mmahh… Kaka… Enaa…k… Sllrpp?” tanyanya sambil terus menjilat. Aku mengangguk, memejamkan mata, berusaha menahan agar tidak orgasme terlalu cepat. Tiba-tiba, Vany berhenti menjilatiku. Ia menegakkan tubuhnya, seolah bersiap-siap.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Abis itu… Gini… Ya…?” Ia membungkuk, memasukkan penisku ke dalam mulutnya yang mungil. Vany harus membuka mulutnya lebar-lebar agar penisku bisa masuk semua. Rasanya luar biasa!</span><br /><br /><span class="fullpost">“Mmhh… Ccpp… Bunya… Kak… Gdee… Mmm… Cppp… B… Nget… Puah… Sampe susah nyedotnya…” katanya. Aku tertawa. Ia kembali menyedot penisku, perlahan-lahan. Kepalanya bergerak naik-turun. Di dalam, lidahnya memainkan bagian bawah batang penisku. Ia melakukannya benar-benar seperti sudah profesional.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kamu… Mmmhh… Ngintipnya… Sampe kayak gimana… Mmmhhh… Waktu itu?” tanyaku. Tekniknya memang mirip dengan Grace.</span><br /><span class="fullpost">“Dari… Mmmh… Slllrpp… Aw…al… Cppp… Mmmm… Sppp… Samp…e… Abiss… Cpp…” jawabnya terpatah-patah. Pantas saja…</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany semakin cepat menggerakkan kepalanya naik-turun. Rongga mulutnya yang kecil menjepit penisku pas sekali, dan lidahnya yang menggeliat-geliat di bagian bawah penisku sungguh membuatku tak berdaya. Aku tak yakin apakah aku mampu bertahan lebih lama lagi.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Van… Oohh… Kaka…K… Mmhhh… Aaahh… Mau keluar nih… Aahh.. Kayaknya…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany tidak memedulikanku. Ia menggerakkan kepalanya semakin cepat, kemudian menyedot penisku kuat-kuat sebelum melumatnya hingga ke pangkal. Aku benar-benar tak tahan.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Vaann… Nnn… MMmhhhh… Uu… Udah… Dikasi.. Tau… Lo… OOOHHH!!!!! AAAAHH!!” sebelum kalimatku selesai, Vany menyedot kuat sekali lagi, dan aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam mulutnya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aahhh… Aaa… AAAHH!!! Mmmhh… OoooH!!!” desahku setiap kali penisku menembakkan cairan ke dalam mulut adikku. Vany terus mempertahankan penisku di dalam mulutnya. Cairan putih kental mengalir keluar dari balik bibirnya. Rongga mulutnya yang mungil tak mampu menahan sperma kakaknya yang menyemprot berkali-kali banyak-banyak.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku menghela nafas panjang saat akhirnya selesai. Vany merangkak, merebahkan diri di sisiku, mencium pipiku. Aku menoleh dan melumat bibirnya yang belepotan spermaku. Kami saling membelit lidah. Tak memikirkan betapa hubungan ini sebenarnya terlarang.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kak…” katanya lembut.</span><br /><span class="fullpost">“Ya?”</span><br /><span class="fullpost">“Thanks…”</span><br /><span class="fullpost">“Hahaha sekarang kamu yang bilang thanks…”</span><br /><span class="fullpost">“Iya donk… Kakak enak banget…”</span><br /><span class="fullpost">“Kamu juga…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Kami terdiam. Aku memejamkan mata. Lelah sekali rasanya. Vany memeluk lenganku. Dadanya yang montok menekan, tapi kali ini aku sudah terlalu lelah.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kak…”</span><br /><span class="fullpost">”Hmm?”</span><br /><span class="fullpost">“Enak mana… Sama Kak Grace?” tanya Vany.</span><br /><span class="fullpost">“Oralnya?”</span><br /><span class="fullpost">“He-eh…”</span><br /><span class="fullpost">“Enak kamu…”</span><br /><span class="fullpost">“Bohoooonnnggg…!!” ujarnya. Aku tertawa.</span><br /><span class="fullpost">“Hahaha.. Iya deehh… Enakan Grace…” kataku. “Jangan dibandingin donk… Dia bibirnya sexy tebel gitu…”</span><br /><span class="fullpost">“Hehehe…” Vany terkekeh.</span><br /><br /><span class="fullpost">Terdiam lagi. Apa yang bakal Grace bilang kalo dia tau pacarnya punya hubungan intim dengan adik kandung sendiri?</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kak…”</span><br /><span class="fullpost">“Hm?”</span><br /><span class="fullpost">“Lain kali…”</span><br /><span class="fullpost">“…Jangan lagi?” aku memotong ucapannya.</span><br /><span class="fullpost">“Nggak…” katanya, tersipu. “… Lain kali lagi yuk…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku tertawa. Adikku parah sekali rupanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Besok jalan yuk…” ajak Vany.</span><br /><span class="fullpost">“Besok Kakak ada janji sama Cherry,” kataku. Cherry ini sahabatku sejak SD.</span><br /><span class="fullpost">“… Mau anal ya?” bisiknya jahil.</span><br /><span class="fullpost">“Heehh??? Koq gituuu…??”</span><br /><span class="fullpost">“Kan Kakak sering anal sama dia… Aku tau aja…”</span><br /><span class="fullpost">“… APAA???”</span><br /><br /><span class="fullpost">“Dit! Jaga belakang!”</span><br /><span class="fullpost">“DEFENSE! TAHAN ERIC!”</span><br /><br /><span class="fullpost">Eric berlari ke arahku, menggiring bola dengan lincah. Samuel mencoba menahannya, tapi ia terus berlari dengan lincah. Sekarang tinggal satu lawan satu denganku. Semua terserah padaku sekarang. Aku bergerak maju, membentangkan tanganku, menutup ruang geraknya. Eric menganyunkan kakinya, menendang. Aku menerkam…</span><br /><br /><span class="fullpost">BUAK!!!</span><br /><span class="fullpost">Gelap…</span><br /><br /><span class="fullpost">“Dit… Dit lu gapapa?”</span><br /><span class="fullpost">“Oi… Dit…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Perlahan, aku membuka mataku… Wajah teman-temanku bergetar dan tampak kabur dalam pandanganku. Aku mengerjapkan mata, saat itulah aku merasakan linu yang amat sangat di selangkanganku. Sangat menyengat dan berdenyut-denyut rasanya. Eric juga menunduk di atasku. Wajahnya pucat pasi.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Hei, man… Lu… Lu gapapa kan? Gue tadi ga sengaja… Abis…” katanya tergagap.</span><br /><span class="fullpost">“Enak aja ga sengaja! Kan udah jelas dia bakal loncat ngambil bola! Kenapa lu tetep hajar sekenceng itu?!” Chris naik pitam, mendorong bahu Eric.</span><br /><span class="fullpost">“Tapi… Gue emang ga sengaja!”</span><br /><span class="fullpost">“Alaahhh…!!”</span><br /><span class="fullpost">“Hei…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Semua menoleh ke arahku.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Chris, udalah… Gue gapapa koq. Tadi lengah juga… Ric, gapapa… Gue tau lu ga sengaja…” kataku menghibur. Mataku berair menahan sakit. Perutku mual. Teman-teman tim futsalku berusaha menolongku berdiri. Aku berdiri dan melangkah tertatih-tatih kea rah gawang. Sakit sekali rasanya. Eric benar-benar mengerahkan kemampuan penuhnya tadi.</span><br /><br /><span class="fullpost">Hari itu aku dan teman-teman tim futsalku sedang bertanding melawan tim dari kompleks lain. Lapangan futsal di dekat rumahku yang biasa kami sewa sedang mengadakan kejuaraan futsal. Hari itu pertandingan terakhir penyisihan grup. Sebenarnya kedua tim yang bertanding hari itu sudah pasti lolos; kami hanya memperebutkan posisi juara grup, karena bila kami mendapat posisi runner-up, lawannya adalah tim yang sangat jago dari grup lain. Terus terang, kami agak ngeri melawan tim itu.</span><br /><br /><span class="fullpost">Saat ini skor imbang 5-5… Pertandingan tinggal tersisa 2 menit lagi. Jika posisi tetap seperti ini, kamilah yang akan lolos sebagai juara grup. Tapi dalam 2 menit terakhir ini tim Eric terus memborbardir gawang yang kukawal.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Hei… Lu gapapa? Masih bisa maen lagi? Tinggal 2 menit koq…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku mengangguk, berusaha menegakkan badanku di bawah mistar gawang. Pandanganku agak kabur saat ini. Pertandingan dilanjutkan…</span><br /><span class="fullpost">* * *</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku berjalan perlahan-lahan ke arah rumahku. Selangkanganku masih sakit rasanya. Aku mengernyit, jengkel. Saat pertandingan tinggal tersisa 30 detik, sebuah umpan silang dari kanan kotak penalti timku diteruskan Eric dengan sebuah sundulan cantik. Aku benar-benar terkecoh. Akhirnya tim lawan menang 6-5, dan mereka menjadi juara grup.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku menggelengkan kepala. Susah sekali berkonsentrasi hari ini, apalagi setelah terkena tendangan bola futsal yang sangat keras tepat di penisku… Urgh!</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku menggelengkan kepala lagi. Sebenarnya sudah sejak awal pertandingan aku sulit berkonsentrasi. Pikiranku terpaku pada adikku Vany… Terutama apa yang dilakukannya tadi pagi.</span><br /><br /><span class="fullpost">Tadi pagi, Vany harus berangkat ke sekolah karena ia menjadi ketua panitia MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolah. Hari ini para siswa-siswi SMP baru sudah harus masuk ke sekolah untuk menjalani masa orientasi, dan Vany harus menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Sebelum pergi, pagi-pagi sekali, Vany membangunkanku dengan ciuman nakal perlahan di leherku. Saat aku terbangun, aku melihat adik kecilku yang imut itu tersenyum manis, dengan kancing kemeja seragam sekolah yang tidak dikancingkan dan bra merah muda berenda yang diangkat. Dadanya yang besar menggelayut menggiurkan di hadapanku. Sekejap kemudian Vany sudah menjepit penisku dengan kedua dadanya yang empuk, memijat dan meremasnya perlahan. Aku yang terkejut hanya bisa menikmati sensasi luar biasanya. Tak butuh waktu lama bagiku untuk meledakkan sperma kentalku berkali-kali melumuri wajahnya yang imut. Setelah membersihkan wajahnya, Vany tersenyum puas, mengecup bibirku, kemudian pergi ke sekolah.</span><br /><br /><span class="fullpost">Bayangan akan apa yang terjadi pagi itu terus terngiang di kepalaku, bahkan saat pertandingan futsal sedang panas-panasnya sore itu. Mungkin itu yang membuatku dapat kebobolan hingga tujuh gol. Gila…</span><br /><br /><span class="fullpost">Lagipula… Sakit sekali… Bagaimana jika aku tidak dapat tegang lagi untuk seterusnya? Apa kata Vany? Grace? Cherry?</span><br /><br /><span class="fullpost">Langkahku gontai melintasi halaman rumah. Aku membuka pintu depan rumah. Sepi, kedua orang tuaku sedang menghadiri acara keluarga besarku di Semarang selama seminggu. Aku membanting sepatu futsalku di tempat sepatu, mendaki tangga dengan lemas menuju kamarku, membanting tas dan sarung tangan kiperku, melepas semua pakaianku, kemudian melangkah ke kamar mandi. Aku ingin cepat-cepat mandi air panas. Tanpa memperhatikan apa-apa, aku membuka pintu kamar mandi. Aku tertegun.</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany sedang mandi dengan santainya. Tampaknya ia tak sadar aku membuka pintu kamar mandi. Vany bermain-main dengan air dari shower, menggosok lengan, leher, pantat, dan tentu saja dadanya yang besar menggiurkan.</span><br /><br /><span class="fullpost">“V… Van?”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany melonjak kaget. Ia berbalik, melihat kakaknya yang juga telanjang bulat berdiri di hadapannya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Eh… Kak? Koq ga ngetok dulu?” tanyanya gugup.</span><br /><span class="fullpost">“Hah? Oh… Oh iya… Sory tadi kakak pikir ga ada orang…”</span><br /><span class="fullpost">“Oh… Hahaha ya namanya kan kamar mandi bareng… Ketok dulu lah…” jawabnya santai. “Gimana futsalnya?”</span><br /><span class="fullpost">“Kalah…6-5… Jadi runner up…” jawabku lemas. “Udah gitu punya kakak ketendang bola kenceng banget lagi… Jarak dekat…”</span><br /><span class="fullpost">“Hah??! Oh ya?” ujar Vany terkejut. Ia memperhatikan penisku. “Tapi… Koq… Kayaknya gapapa ya…” lanjutnya. Aku menangkap nada geli dalam suara manisnya.</span><br /><span class="fullpost">“Ya iyalah gapapa…. Dasar…” memang saat itu penisku sudah kembali tegang setegang-tegangnya. Segala pikiran tentang apakah aku dapat tegang lagi sirna sudah saat aku meihat tubuh Vany yang basah kuyup sedang mandi.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Eh… Mm… Jadi…” kata Vany.</span><br /><span class="fullpost">“Hah? Oh…” aku tersenyum. “Mau mandi bareng?”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany nyengir.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Dasar nakal…” bisiknya. Tapi ia membukakan juga pintu kaca pembatas ruang shower. Aku masuk, dan seketika itu juga hangatnya air membasahi tubuhku. Damai dan tenang sekali rasanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany merapatkan dirinya ke arahku. Dadanya yang besar menekan tubuhku, kenyal dan empuk sekali rasanya. Vany mengusap perlahan punggungku.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Mau aku sabunin, Kak?” tawarnya. Aku mengangguk.</span><br /><br /><span class="fullpost">Ia mengambil botol sabun cair, menuangnya ke atas telapak tangannya, kemudian mengusapnya perlahan di punggungku. Aku menunduk, memandang adikku. Vany mendongak, tersenyum. Kami saling bertatapan beberapa lama. Perlahan, Vany mendekatkan bibirnya ke arah bibirku. Aku menyambutnya lembut. Sangat perlahan, kami berciuman. Lidah Vany menusuk ke dalam mulutku dan membelit lidahku. Suara decak ciuman kami semakin lama semakin nyaring. Ciuman kami semakin panas, tapi masih dalam gerakan yang sangat perlahan.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku menjulurkan kedua tanganku, meremas pantatnya yang kencang dan bulat. Dalam benakku aku sungguh ingin meng-anal adikku ini suatu hari nanti. Vany menekankan dadanya semakin kencang ke arah tubuhku. Aku dapat merasakan putingnya yang mengeras, seksi sekali.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Gimana MOS?” kataku saat ciuman kami terlepas. Aku bertanya sambil meremas-remas dadanya yang besar. Empuk dan kenyal sekali. Rasanya sungguh berbeda dengan dada cewek-cewek lain.</span><br /><span class="fullpost">“Seru… Tapi anaknya pada susah diatur… Bandel-bandel…” katanya sambil memanyunkan bibir. Aku tertawa.</span><br /><span class="fullpost">“Haha.. Bandel mana sama kamu? Hm?”</span><br /><span class="fullpost">“Aah Kakak…” bisiknya manja. Tangan mungilnya sudah berpindah mengusap bagian depan tubuhku sekarang. Aku memainkan putingnya yang telah sangat keras. Kujilati putting kirinya yang sensitif, sementara tangan kiriku meremas dada kanannya dengan nafsu. Vany memejamkan menikmati. Perlahan, tangannya bergerak ke arah penisku yang sangat tegang. Vany jongkok, menghadapi penisku sambil mengusapnya perlahan dengan sabun.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aduh kacian… Kamu tadi kena bola ya?” Vany berbicara pada penisku, seolah berbicara pada anak kecil yang lucu. Ia mengusap-usapnya, mengocoknya perlahan. Enak sekali.</span><br /><span class="fullpost">“Mmhh… Van… Tuh kan… Bandel kamu…” desahku.</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany nyengir. Ia membiarkan air dari shower membilas sabun dari penisku hingga bersih. Ia menjilat-jilat penisku dengan perlahan, dari pangkal hingga ujungnya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aku sedot ya, Kak? Biar ilang sakitnya…” katanya sambil mendongak memandangku. Aku mengangguk.</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany segera memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Perlahan-lahan, ia menggerakkan kepalanya maju, memasukkan semakin banyak bagian dari penisku kedalam mulutnya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Van.. Mmhh… Van ati-ati keselek…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany terus memajukan kepalanya. Aku melihat semakin lama ia semakin kesulitan. Saat ¾ bagian penisku sudah masuk, aku merasa kepala penisku telah menyentuh leher dalamnya. Vany memainkan lidahnya di bagian bawah penisku. Enak sekali.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aaahh… Vann.. Van.. Terus gitu… Mmmh…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany menyedot semakin kencang. Gerakan kepalanya pun semakin cepat maju mundur. Lidahnya terus bergerak berputar-putar di bagian bawah penisku, menjilat pangkalnya. Aku tak tahan lagi.</span><br /><br /><span class="fullpost">“OOOHH.. VAANN… Ka… Kak mau… Keluarrr… MmmmHH!!!”</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku meledakkan spermaku ke dalam mulutnya. Mulutnya yang mungil tak sanggup menahan semprotan yang begitu kencang. Vany melepaskan sedotannya, membuat semburanku beralih melumuri wajahnya dengan cairan putih kental.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Ooh… Vaan… Van…” desahku keenakan.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku bersandar lemas ke tembok kamar mandi. Vany membiarkan semburan air dari shower membersihkan mukanya. Enak sekali rasanya. Penisku masih tegang, seperti 2 kali sebelumnya, tak cukup hanya sekali aku merasakan kenikmatan adik kecilku ini.</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany memelukku. Dadanya yang empuk menekan tubuhku. Gejolak antara akal sehat dan nafsu kembali berkecambuk di benakku. Tapi memang nafsu selalu menang. Aku sudah melangkah sejauh ini… Aku rasa sudah terlambat untuk berputar kembali. Aku menunduk, menatap Vany yang balas menatapku. Dari sorot matanya, aku tahu bahwa nafsu juga telah menguasainya.</span><br /><br /><span class="fullpost">Tanpa sepatah kata pun, aku membalikkan badannya ke arah dinding kamar mandi. Seolah tahu apa yang hendak kulakukan, Vany meletakkan kedua tangannya pada tembok untuk bertumpu, berjinjit, mengangkat pinggulnya, menyerahkan sepenuhnya vaginyanya untukku.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku mengarahkan penisku, meletakkannya di belahan pantatnya yang montok. Sesaat, aku ingin mengawali semuanya dengan meng-anal Vany, tapi sesaat kemudian aku telah menggeser perlahan kepala penisku ke arah bibir vaginanya yang bersih tak berambut. Kumain-mainkan bibir vaginanya dengan kepala penisku; kuusap perlahan, lembut.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Mmh… Kak… Masukin aja langsung…” pintanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku setuju. Kumasukkan perlahan kepala penisku. Vany berjengit pelan. Aku merasakan ketegangan mengaliri tubuh adikku.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kamu yakin, Van?” tanyaku.</span><br /><br /><span class="fullpost">Sekali lagi, logika berteriak-teriak di pikiranku. DIA INI ADIKMU! SADAR! Aku yakin suara yang sama juga berteriak, menggedor-gedor akal sehat Vany. Tapi saat itu kulihat anggukan perlahan tapi mantap dari adik kecilku ini. Keraguanku sirna.</span><br /><br /><span class="fullpost">Perlahan, tak ingin menyakiti, aku menusukkan penisku ke dalam vaginanya. Vany mengejang. Aku memasukkan semakin dalam, sudah masuk ¼ bagian sekarang. Sempit sekali… Agak sulit.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Mmmhh… Aaahh… Aaa… Aaahhh Kak… S… ” Vany mendesah. Aku tahu pasti terasa agak sakit untuknya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kalo sakit kasi tau Kakak ya…” bisikku. Vany mengangguk. Aku memasukkan semakin dalam. Kepala penisku menyentuh selaput tipis. Keperawanan Vany dipertaruhkan. Sekali lagi aku bertanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kamu bener-bener yakin…?”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany tidak menjawab. Tiba-tiba ia mendorongkan pantatnya ke arahku dengan kencang. Selaput daranya robek, penisku benar-benar masuk ke dalam vaginanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“AAAHHH….!!!!” Jeritnya kencang. Vany mengakhiri masa perawannya… Di usia 14 tahun. Aku melirik ke bawah, darah segar mengalir pelan dari arah selangkangannya, mengalir turun melalui pahanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Oohh… Oohh… Masuk… Hh… Aku… Dimasukin… Ka…kak… Aaahh… Gede banget… Hhh…” desahnya, seperti berbicara pada dirinya sendiri.</span><br /><br /><span class="fullpost">Wajah Vany merah padam. Nafasnya tersengal. Aku tahu betapa sakitnya saat pertama. Aku membelai rambut pendeknya perlahan.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kalo udah ga sakit bilang ya sayang…” bisikku lembut.</span><br /><span class="fullpost">“…. Mmh… Terusin aja Kak…” pintanya. “Pelan-pelan…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku memasukkan penisku semakin dalam perlahan-lahan. Luar biasa sempit dan hangat di dalam. Vagina Vany seolah menjepit penisku. Aku terus memasukkan penisku hingga kepalanya menyentuh ujung vagina Vany. Vany memiliki vagina yang sangat dalam untuk cewek semungil dia.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Siap?” tanyaku. Vany tersenyum, mengangguk.</span><br /><br /><span class="fullpost">Kutarik penisku hingga setengah jalan, dan dengan kekuatan penuh aku menghujamkannya kembali ke dalam.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aaahh!!! Aaahh… Kakk!! Pelan… Pelaa… AANN!! Oohh… Aaahhh!!!” Vany menjerit-jerit keenakan. Aku menggerakkan pinggulku dengan kuat. Pikiranku semakin kabur. Realitas bahwa cewek yang sedang kusetubuhi sekaran adalah adikku sendiri sedikit demi sedikit hilang lenyap.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Ooohh… Vaaannn… Kam…u… Sempit bangeeett… Aaah… Mmmhh!!” desahku. Aku menjangkau, meremas-remas dadanya yang menggelayut, berguncang-guncang seirama hantaman penisku.</span><br /><span class="fullpost">“Kaa… Aaahhh… Kakak… punya… Aaahhh… Kakak punya yang… Mmmhh!! Kegede… ann… aahhh… Mhhh!!” jawabnya tak mau kalah.</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany mengeratkan jepitan vaginanya. Enak sekali! Penisku seperti dipijat-pijat di dalam sana.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aaahh… Aaahhh… Mmmmhh!!! Mmmnn… Kaak… Ohh kakk…” desahnya setiap kali penisku menghujam ke dalam vaginanya. Pinggulku seakan bergerak otomatis, tak bisa berhenti. Sempit dan hangatnya vaginanya, dipadu dengan sensasi empuk pantatnya yang menghantam-hantam pinggangku sungguh tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku menggerakkan pinggulku semakin cepat. Kepala penisku menghantam-hantam mulut rahim Vany.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aaahhh!!! Kaakk… Kaa… Ooohh… Tambah… Gede… Aaahhh!!! Kakak tambah ged…eee… Lagi di… Aaahhh!!! Aaahhh!! Di dalem…MMMHHH!!! Kaaakkk!!!” Vany menjerit-jerit. Nafasnya sudah tak beraturan sekarang. Aku semakin kencang menggerakkan pinggulku. Suara pantatnya yang menghantam pinganggku menggema di kamar mandi.</span><br /><br /><span class="fullpost">“KAAKK!! KAA…KKK… LEPAS! LEPAS! LEPAAsss!! Aaakkuu… Mau… Kelu… AAARR!!!” Vany tiba-tiba berteriak. Aku terkejut, segera menarik lepas penisku dari vaginanya yang sempit. Seketika itu juga Vany menyembur-nyemburkan cairan vaginanya. Semprotannya kencang sekali dan berkali-kali. Vany merosot ke lantai, badannya gemetar hebat. Orgasme pertamanya sungguh dahsyat.</span><br /><br /><span class="fullpost">Tak menunggu lama, aku berlutut di belakangnya, kutunggingkan pantat Vany dengan kedua tanganku. Jempolku menarik bibir vaginanya lebar, dan penisku langsung menghujam dengan kuat untuk kedua kalinya ke dalam tubuh Vany. Lebih mudah sekarang, apalagi setelah squirting hebat tadi, vagina Vany menjadi sangat becek dan licin.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aaahhh!!! Kaaakkk… Kak! Kak… Kakk… Nnnhhh!!” Vany menjerit.</span><br /><br /><span class="fullpost">Buah pelirku menyenggol-nyenggol klitorisnya, membuat Vany semakin kegilaan menikmati seks pertamanya. Aku menggerakkan pinggulku dengan sangat cepat, menghantam bagian dalam vaginanya dengan kuat. Vany kembali mengencangkan vaginanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aah… aahhh… Aaahhh… aa… Kaak… Oohh… Ooohh… Enak… Bangett… Mmm… Nnnhh!!!” desahnya. Aku rasa saatku sudah semakin dekat.</span><br /><span class="fullpost">“Ooohh… Vaaann… Kakak… Mau… Keluaarr… Mmmhhh… Mmmmhh… Aaahh…” kataku, tecekat. Vaginanya terasa begitu sempit dan nikmat.</span><br /><span class="fullpost">“Aaahhh… Aaahhh… Kuarin… Di luar… Kaakk… Diluar kakk!!! Aaahh!!” pintanya.</span><br /><span class="fullpost">“OOOHH!! VV… VVAANNN!!!!”</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku mencabut penisku, menjepitkannya di antara kedua pantatnya yang kencang. Ccrroooottt!!! Crrooouuuttt!!! Crruuoottt!!!! Aku meledakkan spermaku berkali-kali dengan kencang, melumuri punggung dan pinggulnya, bahkan ada beberapa semprotan yang mengenai belakang kepalanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany terkulai, bernafas tersengal-sengal. Aku berlutut, melirik ke bawah dan terkejut. Penisku masih sangat tegang. Tubuhku seakan terus meminta tubuh Vany lagi dan lagi. Sebelum ini belum pernah aku masih tegang setelah dua kali keluar.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Van… Lanjut di kamar aja yuk…” ajakku.</span><br /><span class="fullpost">“Kakak… Hhh… Mas…Ih.. Bisa lagi?” tanyanya, tersengal. Aku mengangguk, dengan keheranan yang sama dengannya.</span><br /><span class="fullpost">“Kamu masih kuat?”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany mengangguk lemas, masih terengah-engah dan gemetar.</span><br /><br /><span class="fullpost">Kumatikan shower. Aku mengambil handuk untuk mengeringkan badanku, kemudian kuselubungkan handuk itu ke tubuh mungil Vany yang gemetaran. Kubantu mengeringkan badannya.</span><br /><br /><span class="fullpost">Kuangkat, kugendong adikku ke kamarku. Kubaringkan ia dengan lembut di ranjangku. Aku naik ke ranjang, menunduk di atas tubuhnya. Nafas Vany sudah lebih teratur sekarang, ia menatap mataku. Dadanya yang besar bergerak naik-turun seiring tarikan nafasnya.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Lanjutin Kak…” katanya sambil tersenyum. Tanpa kusuruh, ia mengangkat pahanya, mengangkang sangat lebar di hadapanku.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku mengarahkan penisku ke bibir vaginanya. Untuk ketiga kalinya, kumasukkan penisku ke dalam vaginanya yang sempit. Vaginanya yang semit seperti menyedot penisku ke dalam. Vany menggeliat, menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya mencengkeram seprei dengan erat.</span><br /><br /><span class="fullpost">Perlahan, kuhujam-hujamkan penisku ke dalam vaginanya. Tarik, masukkan, tarik, masukkan. Semakin lama semakin kuat, semakin lama semakin cepat.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aaahhh… AAHH!!! Teruss… Teruss…!! Terus kakk… Aaahhh!!! Ooohh Kaakk!!!” Vany mendesah liar. Matanya terpejam, menikmati.</span><br /><br /><span class="fullpost">Sambil terus menghujamkan penisku, aku meremas dadanya. Tak cukup, aku membenamkan wajahku di antara dua bantalan besar yang empuk itu. Jemariku memainkan puting-putingnya yang tegang.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kamu… Makan apa sih… Mmhh… Vann… Koq bisa… Mmmmhh… Gede gini?” tanyaku.</span><br /><span class="fullpost">“Aaahh… Aaahhh… Gata…Uu… Mmm… Tau… Tau tau… Gede… Aaahhh…” jawabnya asal-asalan. Kujilati puting kirinya. Kusedot kuat-kuat, setengah berharap akan merasakan susu yang manis menyemprot dari dalam dadanya yang luar biasa itu. Vany meringis, cengkraman tangannya di seprei semakin erat.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aaahhhh!!! KaaKkk….!!! Maauu… Keluar… Lagggiiii!!! AAAHHH!!!” Vany berteriak. Squirting untuk kedua kalinya, penisku seperti disemprot cairan dingin. Aku tak peduli, kugerakkan pinggulku semakin cepat. Vany mengangkat pahanya, membantuku. Aku mencengkeram erat pinggangnya, menggerakkan tubuhnya seirama hantaman penisku. Vaginanya semakin mengencang.</span><br /><br /><span class="fullpost">Tiba-tiba, bagian dalam vagina Vany seperti bergerak memijat penisku kuat-kuat dengan bergelombang. Aku belum pernah merasakan sesuatu yang seperti ini! Terkejut, aku memperlambat genjotanku.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku mendongak, menatap wajah Vany yang merah padam. Dari sorot matanya aku tahu ia dengan sadar melakukan yang terakhir itu.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Van… Va… Gimana… Yang… Ooohh yang tadi itu enak banget!!! Aahh…” kataku. Vany nyengir lemah. Dadanya mengayun-ayun mengikuti irama gerakan pinggulku.</span><br /><span class="fullpost">“Kakak… Aaaahhh… Kak… Mau… Aaahhh… Mau lagi?” godanya. Aku mengangguk cepat-cepat. Vany nyengir semakin lebar.</span><br /><span class="fullpost">“Tapi.. Tapi kalo kamu gitu lagi… Kakak bisa-bisa gak keburu ngeluarin di luar…” kataku, agak cemas.</span><br /><span class="fullpost">“Gapapa Kak… Yang tadi itu… Mmmhh… Aku juga enak banget… Gapapa… Keluarin di dalem aja… Nnhh… ” katanya.</span><br /><span class="fullpost">“Hah? Ntar… Ntar kamu…”</span><br /><span class="fullpost">“…Gapapa…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku tahu ini gila. Vany memintaku mengeluarkan spermaku di dalam tubuhnya. Bagaimana kalau dia hamil? Apa kata orangtuaku?</span><br /><br /><span class="fullpost">Tapi saat logika mulai merasuki pikiranku lagi, Vany menggerak-gerakkan pinggulnya. Aku seperti otomatis kembali menghujamkan penisku ke dalam vaginanya, menendang jauh-jauh logika.</span><br /><br /><span class="fullpost">Gerakan pinggulku semakin cepat dan cepat. Vany semakin mengencangkan vaginanya. Aku yakin tak lama lagi aku akan keluar jika seperti ini terus.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Aaahhh…. AaahH!!!… Kak… Kaakk… Siaap? Aahhh… Aaa…” tanyanya. Aku mengangguk liar, semakin mempercepat genjotanku. Vany menegang, berkonsentrasi. Gerakanku semakin liar. Nafas kami memburu, tak beraturan.</span><br /><br /><span class="fullpost">Dan sensasi itu datang lagi! Vaginanya seakan menyedot penisku, dan gelombang yang sangat kuat berkali-kali datang memijat penisku. Aku tak tahan lagi, sensasi ini sungguh luar biasa!</span><br /><br /><span class="fullpost">“Vann!! OOH Vaannn!!! Kakak mau… Aaaahhh… Aaahh!!! VAANN!!! Ke…KELUAR!! Aaahh… Aaahhh!!!” pikiranku mengabur. Mataku berair.</span><br /><span class="fullpost">“DI DALEM!! DI… AAHHH!!! Di daleemm…Keluarin di daleeemm!!!” jeritnya.</span><br /><span class="fullpost">“VVVVVVAANN….VVAANNYY!!!!!!”</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku meledakkan spermaku sekuat-kuatnya ke dalam rahim Vany. Aku keluar jauh lebih banyak dari yang sudah-sudah. Satu-dua-empat-enam… Penisku seakan tak mau berhenti meledakkan spermanya. Enak sekali, hangat sekali. Vagina sempit Vany tak cukup menahan muatan sperma kakaknya. Cairan putih itu mengalir keluar, melumuri bahkan penisku sendiri, mengalir membasahi sepreiku…</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku mencabut penisku. Sudah lemas sekarang. Rasanya agak linu, keluar tiga kali berturut-turut. Cairan putih kental masih mengalir keluar dari vagina adikku, terlihat seksi sekali. Vany tergeletak lemas di ranjangku. Matanya separuh terpejam. Mulutnya menganga kecil. Keringat membanjiri tubuh kami.</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku merebahkan diri di sebelahnya, terengah-engah.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Van… Hhh… Thanks…”</span><br /><span class="fullpost">“Iya… Aku yang thanks… Hhh…” bisiknya. “…Enak banget…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Terdiam, hanya suara tarikan nafas terengah kami yang terdengar. Berapa lama kemudian, aku menoleh menatap adikku yang seksi ini.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Van… Kalo kamu hamil gimana? Kakak keluar banyak banget loh tadi di dalem kamu…” tanyaku, cemas.</span><br /><span class="fullpost">“Gapapa… Nanti menikah sama kakak…”</span><br /><span class="fullpost">“Ngawur kamu…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany tertawa. Terdiam lagi. Aku memejamkan mata, belum pernah aku merasakan seks seenak ini.</span><br /><span class="fullpost">“Kamu belajar dari mana yang terakhir tadi itu?”</span><br /><span class="fullpost">“Gatau… Tau-tau bisa aja…”</span><br /><span class="fullpost">“Ohya? Itu enak banget…”</span><br /><span class="fullpost">“Lebih enak dari Kak Grace?”</span><br /><span class="fullpost">“Jauh…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Kami terdiam.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Kak…”</span><br /><span class="fullpost">“Ya?”</span><br /><span class="fullpost">“Mulai sekarang… Kalo kakak pas pengen ML… Kasi tau aku…” katanya. “Aku sepenuhnya milik kakak…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Aku terdiam. Tak bisa menjawab. Dalam hati aku tahu kami sudah melanggar semua batas dan nilai yang normal. Tapi kenikmatan ini sungguh luar biasa.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Papa-Mama kan pergi seminggu…” kataku. “…Banyak kesempatan…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany tertawa.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Ya…” katanya. “Ntar malem lagi?”</span><br /><span class="fullpost">“Kalo kuat…”</span><br /><span class="fullpost">“Besok?”</span><br /><span class="fullpost">“Sepanjang hari…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany tertawa lagi. Tawa yang renyah dan imut. Ia berguling, memeluk lenganku dengan sayang.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Van…”</span><br /><span class="fullpost">“Hm?”</span><br /><span class="fullpost">“Kapan-kapan… Coba anal yuk…”</span><br /><br /><span class="fullpost">Vany nyengir.</span><br /><br /><span class="fullpost">“Yuk…”</span><br /><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com9